Membaca, Pintu Menuju Ilmu Pengetahuan


Sahabat Alfalah,
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama dalam sejarah, bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat sebagai nabi atau rasul, wahyu pertama yang diturunkan kepada beliau adalah surat Al Qolam ayat 1 - 5; yang mana ayat pertama dari wahyu yang diterima melalui Malaikat Jibril adalah Iqro

Kata iqra’ terambil dari kata kerja qa-ra-`a yang awalnya berarti “menghimpun” huruf -huruf dan kata-kata. Arti kata ini kemudian berkembang menjadi “merangkai” serta “mengucapkan” rangkaian huruf dan kata-kata tersebut.

Apa yang dihimpun dan dirangkai? Tentu saja informasi sebanyak mungkin, dari segala sumber, baik lewat pendengaran, penglihatan, maupun hati.

Makna ini menunjukkan bahwa iqra` tidak mengharuskan adanya teks tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar orang lain. Kata iqra` bisa bermakna membaca yang tersurat (malfuzh) dan sesuatu yang tersirat (malhuzh).
Sahabat Al Falah.
Dalam kamus bahasa Arab ditemukan aneka ragam arti kata iqra`, antara lain menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, dan mengetahui ciri-cirinya. Kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat menghimpun (informasi).

Multi Obyek

Perintah membaca pada iqra` tidak disebutkan obyeknya. Kaidah bahasa Arab mengatakan bahwa suatu kata dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan obyeknya (maf’ul), maka obyek yang dimaksud bersifat umum. Artinya, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut.

Oleh karena itu obyek dari perintah membaca (iqra`) menjangkau bacaan suci yang bersumber dari Tuhan, yakni ayat tanziliyah (wahyu) dan kauniyah (segala ciptaan-Nya), baik di alam makro maupun mikro, termasuk dimensi nafsiyyah (kejiwaan), masyarakat, dan sejarah.

Muhammad Abduh mengatakan, iqra` bukan perintah yang membebani (amr taklifi) atau membutuhkan obyek, tetapi suruhan untuk aktif (amr takwiny).

Sejalan dengan pendapat itu, Buya Malik Ahmad mengatakan, membaca menghendaki gerakan yang dinamis, produktif, dan kreatif. Bukan sebatas mengeja.

Jadi, orang yang sedang membaca sesungguhnya sedang menggali secara aktif potensi intelektual, spiritual, dan emosional dalam dirinya secara sinergis. Agaknya, pendapat inilah yang selaras dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) pada Surat al-‘Alaq.

Membaca dengan beragam artinya adalah syarat pertama dan utama bagi pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat utama dalam membangun peradaban. Ilmu, baik yang diperoleh dengan usaha manusia (ilmu kasbi, acquired knowledge), maupun yang diberikan atas kemurahan Allah SWT ketika hati yang membacanya dalam keadaan suci (ilmu ladunni, perennial), pada hakikatnya adalah milik Allah SWT.

Pilar Peradaban

Semua peradaban yang bisa bertahan lama dimulai dari satu bacaan. Peradaban Yunani dimulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi, dan berakhir dengan hadirnya kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berakhir dengan Filsafat Hegel (1770–1831). Sementara peradaban Islam yang gemilang dipicu oleh daya kekuatan yang tumbuh dari al-Qur`an yang berarti bacaan yang sempurna.

Kegiatan membaca al-Qur`an melahirkan penafsiran-penafsiran baru atau pengembangan dari pendapat-pendapat yang telah ada. Demikian juga, kegiatan “membaca” alam raya menimbulkan penemuan-penemuan baru yang membuka rahasia-rahasia alam, walaupun obyek bacaannya sama.

Sungguh, perintah membaca merupakan perintah yang paling berharga yang pernah dan yang dapat diberikan kepada umat manusia. Sebab, perintah ini mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna (yarfa’ul insana ilaa arqaa madaarijihaa). Sangat beralasan bila dikatakan membaca adalah syarat utama membangun peradaban.

Semakin luas bacaan, makin tinggi peradaban. Begitu juga sebaliknya. Tidak berlebihan juga pada suatu ketika manusia akan didefinisikan sebagai ‘makhluk membaca’. Definisi ini tak kurang nilai kebenarannya sebagaimana definisi manusia sebagai “makhluk sosial” atau “makhluk berfikir”.

Fitrah “Membaca”

Membaca pada hakekatnya langkah esensial menyalurkan fitrah manusia. Sekalipun manusia tidak diperintah untuk membaca, dengan sendirinya memiliki bawaan selalu ingin membaca. Sebab, rasa ingin tahu selalu melekat pada diri manusia.

Anak kecil yang masih duduk di bangku TK sering mengajukakan berbagai pertanyaan yang membuat kita terpojok. Pertanyaan itu muncul sebagai wujud respons dari apa yang dilihat, diraba, diamati, dibaca, dan disaksikannya.

Allah SWT telah menyediakan alam semesta untuk manusia agar tugas kehambaan dan kekhalifahan bisa terlaksana dengan baik. Demikian pula sebelum menyuruh membaca, Allah SWT telah melengkapi manusia dengan pendengaran, penglihatan, dan hati. Perintah membaca adalah usaha mengaktifkan instrumen pendengaran, penglihatan dan hati, agar berfungsi secara proporsional. Firman Allah SWT:

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuhnya) roh (ciptaan-Nya) dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati. (as-Sajdah [32] : 9)

Jadi, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa aktivitas mendengar, melihat, dan hati, adalah kegiatan ruhani. Jika manusia secara fisik berwujud, dan ketiga potensi tadi tidak diaktifkan, maka ia bagaikan bangkai yang berjalan.

Berikut ini adalah seruan Allah SWT agar manusia selalu membaca dengan kata qa-ra-aa:

Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya. (al-Waqiah [56] : 58-59)

Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau kamu kehendaki niscaya Kami jadikan ia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur. (al-Waqiah [56] : 68-70)

Berkali-kali manusia diperintahkan untuk senantiasa “membaca” seperti na-zha-ra, fak-ka-ra, dab-ba-ra.
Manusia yang enggan mengaktifkan indra pendengarannya, penglihatannya, dan hatinya, laksana binatang ternak, bahkan lebih sesat. Ibnu Taimiyah mengatakan, manusia yang pasif laksana mati sebelum meninggal. Sebab, hatinya tertutup dari hidayah, sehingga lemah dalam merespon perubahan (dhu’ful istijabah lil mutaghayyirat).

Berdimensi Aksi

Membaca tidak sekadar memadati otak dengan informasi sehingga hanya menjadi pengetahuan (daya tahu) yang bersifat teoritis. Membaca menuntut adanya aksi dan iradah (daya mau). Keluasan ilmu pengetahuan tanpa disertai kemauan mengamalkan akan menjadi saksi yang memberatkan pemiliknya (hujjatun ‘alaihi) kelak di depan Mahkamah Ilahi.

Kualitas bacaan berbanding lurus dengan mutu amal. Kebenaran membaca sangat mempengaruhi kebenaran dan keabsahan amal. Perbedaan kesimpulan bacaan mempengaruhi perbedaan kesempurnaan amal. Amal yang tidak berdasarkan ilmu termasuk sikap taqlid (membebek), atau dikatagorikan bid’ah (membuat amal ibadah tanpa contoh sebelumnya).

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Bacalah dan beramallah!” Dalam ilmu hukum seseorang yang melihat bahaya kemudian tidak bergerak untuk menanggulangi bahaya itu (diam), sekadar sebagai penonton dan tidak segera bereaksi, maka ia bisa menjadi tertuduh. Di sini korelasi yang menunjukkan makna “iqra`” yang menuntut adanya gerakan (aksi).

Berbingkai Ilahiyyah

Abdul Halim Mahmud (mantan Syaikh Al Azhar) dalam bukunya Al Qur`an fi Syahri al-Qur`an mengatakan: Kalimat iqra` bismi rabbik, al-Qur`an tidak sekadar memerintahkan membaca, tetapi menegaskan bahwa membaca adalah simbol dari segala yang dilakukan manusia, baik yang sifatnya aktif maupun yang pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan jiwanya ingin menyatakan ‘bacalah demi Tuhanmu’, ‘bergeraklah demi Tuhanmu’, ‘bekerjalah demi Tuhanmu’.

Demikian pula apabila Anda berhenti bergerak atau berhenti melakukan aktivitas, hendaklah hal tersebut didasarkan pada bismi rabbik.

Ayat tersebut akhirnya berarti jadikanlah seluruh kehidupanmu (duduk, berdiri, dan berbaring), wujudmu, dan cara dan tujuanmu, hanya demi Allah.

Pada Surat al-‘Alaq, Allah SWT memperkenalkan perbuatan-Nya dengan kata rabb (mencipta, memelihara, mendidik). Ini berarti perintah membaca bersifat mendidik, memelihara, mengembangkan, meningkatkan, dan memperbaiki makhluk-Nya.

Sahabat Al Falah,
Dalam kajian yang lain, setiap membicarakan surat Al-’Alaq  sebagai wahyu yang diterima Nabi Muhammad pertama kali, pada umumnya orang meng­anggap atau menafsirkan bahwa Jibril menyuruh Muhammad memba­ca.

Ada yang mengatakan Muhammad disuruh membaca tulisan, ada pula yang mengatakan yang harus dibacanya adalah “situasi”, yaitu situasi kota Makkah dan sekitarnya, mulai dari keadaan alamnya sampai keadaan masyarakatnya.

Dengan kata lain, satu pihak mengartikan perintah membaca itu secara harfiah, yang lainnya menganggap berarti kiasan.

Karena itulah mereka menerjemahkan kata iqra dalam ayat pertama surat tersebut menjadi bacalah.

Selain dari terjemahan di atas,  Yusuf Abdullah Ali dalam The Holy Quran yang menerjemahkannya menjadi proclaim (nyatakan, umumkan).

Sementara itu, dalam A Dictionary Of Modern Written A­rabic, Hans Wehr menyebutkan bahwa arti kata qara-a, khususnya untuk Quran adalah declaim (berdeklamasi; membaca di depan umum sebagaimana membaca syair), atau recite, yang berarti say (especially poems) aloud from memory (mengucapkan —khususnya syair— hafalan dengan suara keras).

Jadi, declaim dan recite agaknya mempunyai pengertian yang sama.

Dengan demikian, kita mendapatkan tiga makna dari kata iqra, yaitu:

1. Bacalah
2. Nyatakan/umumkan(lah)
3. Deklamasikan (berdasar hafalan)

Di antara ketiga makna tersebut, yang beredar dalam masyarakat melalui para ustadz dan penceramah adalah pengertian yang pertama (bacalah), dengan tambahan (penafsiran) bahwa membaca yang dimaksud adalah membaca apa saja yang bisa ‘dibaca’, baik bahan-bahan bacaan biasa maupun segala kenyataan hidup yang dijumpai.

Dengan demikian, satu segi, kegiatan membaca tersebut berarti kegiatan menuntut ilmu secara umum.

Segi lainnya, membaca yang dimaksud adalah melakukan kegiatan kontemplatif,, yaitu merenungi dan mengambil hikmah (pelajaran) dari segala kenyataan hidup.

Sahabat Al Falah,
Manakah pengertian yang benar menurut Anda?

Terlepas dari itu semua, satu hal yang tentunya kita semua sepakati dan sekaligus menjadi kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa kalimat perintah iqro' sebagaimana disebutkan dalam ayat pertama dari wahyu yang pertama kali diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW merupakan keyword untuk membuka pintu  cakrawala ilmu, pengetahuan dan pemahaman tentang hidup dan kehidupan serta menyingkap semua tabir dan misteri yang ada di alam semesta ini.

Wallahu a'lam bis shawab,
Semoga dapat membawa manfaat 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »