Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abd. Rahman Masud menengarai adanya kerancuangn pemahaman pada sebagian masyarakat, termasuk peserta didik di sekolah dan madrasa, terhadap istilah terorisme dan jihad. Untuk itu, Rahman berharap para guru pendidikan agama mampu memberikan pemahaman yang benar tentang kedua istilah tersebut kepada para peserta didiknya.
Hal ini disampaikan Rahman saat memberikan sambutan pada Workshop “Model Pembelajaran Agama untuk Menjawab Perkembangan Terorisme atau Radikalisme di Kalangan Anak Usia Dini dan Remaja” di Gedung Hall B7 Universitas Malang, Sabtu (14/11). Workshop ini digagas oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag bekerjasama dengan Universitas Malang.
Di hadapan 150 peserta yang terdiri dari guru SD, MI, SMP, MTs, SMA, MA se Kota Malang, Abd. Rahman mengatakan bahwa secara konseptual, ada perbedaan signifikan antara terorisme dengan jihad karena keduanya memiliki misi dan ideologi yang berbeda. “Terorisme bersifat destruktif dan berdampak sosiologis-psikologis terhadap sasaran aksi teror, sedangkan jihad, jika dimaknai dalam pengertian “peperangan fisik”, memiliki kode etik,” terang Rahman.
Kode etik yang dimaksud, lanjut Rahman, antara lain kooperatif dan memini¬malisasi efek terhadap warga sipil dan konsern pada kerusakan lingkungan. “Para pendidik, guru dan dosen, dalam proses pembelajaran agama di sekolah dan kampus, dapat menjelaskan kepada peserta didik soal perbedaan ini” katanya.
Selain itu, hal penting yang perlu dipahami generasi bangsa Indonesia adalah varian makna kata jihad. “Anak usia dini dan remaja harus dipahamkan, bahwa jihad yang merupakan ajaran suci dalam agama Islam, maknanya bukan hanya berperang mengangkat senjata melainkan juga termasuk belajar dengan baik dan sungguh-sungguh. Juga berbakti kepada orang tua secara baik,” tuturnya.
Termasuk yang harus dipahamkan juga terkait pengertian “radikalisme”. Menurut Rahman, radikal dalam beragama, dalam arti meyakini dan memahami agama kita secara mendalam, justeru adalah keharusan. Namun radikalisme agama dalam makna penggunaan kekerasan untuk suatu motif agama, dan ini sering dilekatkan ke Islam, harus ditolak.
Pemahaman seperti ini penting, menurut Rahman, karena Indonesia adalah negara yang majemuk. Penduduk Indonesiaan lebih dari 250 juta, meliputi 300 suku bangsa yang memiliki 750-an bahasa daerah, yang menghuni di lebih dari 17.000 pulau yang membentang dari Sabang di belahan Barat hingga Papua di belahan Timur. Selain itu, terdapat 6 agama utama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk, yaitu: Islam (87,21%), Kristen (6,9%), Katholik (2,91%), Hindu (1,69%), Buddha (0,72%), dan Khonghucu (0,05%), serta ratusan kepercayaan lokal (local faith) yang dianut masyarakat Indonesia
“Kesadaran kemajemukan atau kesadaran pluralisme, multikulturalisme menjadi suatu prakondisi yang harus dibangun, dicipta dan diperkokoh keberadaannya,” kata Rahman.
Dalam kaitan ini, Rahman berharap Perguruan Tinggi Agama seperti Unisma Malang dapat memerankan tugas tridharma-nya secara lebih optimal. Melalui fungsi edukasi Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), kampus dapat memberikan penga¬yaan wawasan peserta didik tentang hidup bernegara dan beragama secara integral. Dengan fungsi riset, kampus dapat mengkaji secara akademis berbagai dinamika kehidupan keagamaan masyarakat dan menyam¬paikan hasil dan simpulannya kepada para pengambil kebijakan.
“Kajian soal radikalisme, terorisme, atau bahkan ISIS, belum banyak dilakukan dan dikontribusikan hasilnya,” ujarnya.
Sedangkan melalui fungsi pengabdian masyarakat, Rahman berharap kampus dapat turut serta membiakkan budaya damai dalam masyarakat, memberdayakan potensi dan kapasitas umat, serta menyumbangkan ilmu dan wawasan untuk pembentukan masyarakat yang inklusif, moderat, dan damai. (rijal/mkd/mkd)
copas dari sumber asli : Kementerian Agama RI