Memahami Bidah dan Mauludan melalui Obrolan Santai


memahami bidah dan mauludan melalui obrolan santai








Baru saja Pak Kamsud mencuci tangannya karena kotor setelah menanam kangkung di kebun belakang rumahnya, tiba-tiba ponsel miliknya berdering dengan nada klasik Nokia Tune. Pak Kamsud pun melihat layar hp-nya yang masih Monokrom itu dan terlihat sebuah nomor luar negeri tak dikenal tengah memanggil. Tak pikir panjang, Pak Kamsud lalu mengangkatnya. Seketika, terdengarlah suara ceria dari balik telepon;

"Assalamu'alaikum Pak Kamsud, gimana kabarnya?"

"Wa'alaikum salam, Alhamdulillah baik. Maaf, ini dengan siapa?"

"Waah.. Pak Kamsud ini gimana tho, sudah lupa sama suara saya? Ini Zaglul pak, tetangga bapak dulu, sekarang saya tinggal di Kuala Lumpur ngembangin bisnis saya."

"Oh.. Pak Zaglul rupanya.. Gimana kabarnya pak? Terakhir nelpon saya dulu njenengan kan masih di Banjarmasin, lha koq sekarang udah di Malaysia aja, pantesan nomornya belom ke-save di hp saya. Gimana kabar keluarga pak? Bisnisnya gimana? Karyawannya udah berapa sekarang?"

"Alhamdulillah Pak Kamsud, kami semuanya sehat, bisnis lancar, karyawan saya sekarang sudah 47 orang pak. Alhamdulillah, berkat doa Pak Kamsud juga."

"Wah wah.. hebat sekali sampeyan ini, saya turut senang mendengarnya."

"Oiya Pak, ini saya sengaja nelpon karena mau Curhat sama Pak Kamsud. Ganggu gak kira-kira?"

"Halah, njenengan ini koq kaya anak muda aja, pake Curhat-curhatan segala. Ada apa emangnya pak Zaglul?"

"Ini lho, bulan ini saya sebenarnya berinisiatif ngajakin karyawan saya untuk ngadain acara Maulidan, tapi ada yang bilang, katanya Maulidan itu amalan Bid'ah karena Nabi gak pernah melakukannya?"

"Oh.. begitu. Sebenarnya perlu diketahui dulu Pak, bahwa suatu perkara yang tidak dilakukan Nabi itu tidak dapat melahirkan sebuah hukum tertentu. Misalkan Nabi tidak minum kopi, ini jangan lantas dihukumi bahwa kopi itu Makruh atau Haram. Lagian, kalo suatu perkara itu dikategorikan sebagai Bid'ah hanya gara-gara Nabi tidak pernah melakukannya, maka akan banyak sekali perkara yang tidak pernah dilakukan Nabi tapi kita melakukannya sampai sekarang; seperti mencetak Al-Qur'an dalam sebuah Mushaf, ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi, tapi Abu Bakar mengawalinya. Demikian juga Umar bin Khattab memisahkan antara Maqam Ibrahim dengan Ka'bah, padahal dulu di masa Nabi, Maqam Ibrahim itu nempel ke Ka'bah, lha wong namanya aja Maqam itu kan artinya tempat pijakan Nabi Ibrahim buat bangun Ka'bah, ya pasti nempel lah. Terus juga Utsman ibn Affan menambah jumlah adzan shalat Jum'at menjadi dua kali. Itu semua tidak dilakukan oleh Nabi tapi tidak ada yang mengingkarinya."

"Ya berbeda lah Pak Kamsud kalo disamakan ke Khulafa Rasyidin, Nabi sendiri kan sudah berpesan; "Hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa' Rasyidin setelahku", itu hadits Nabi lho, yang menunjukkan bahwa Khulafa Rasyidin itu mendapat Tazkiyah langsung dari Nabi."

"Jadi begini Pak Zaglul, dalam hadits yang bapak sampaikan tadi disebutkan kata "Sunnahku" dan "Sunnah Khulafa Rasyidin". Ini meskipun keduanya sama-sama menggunakan kata "Sunnah", tapi memiliki arti yang berbeda. Sama seperti dalam surat Al-Ahzab ayat 56 yang Menyebutkan bahwa Allah, Malaikat dan kaum Mukminin bershalawat kepada Nabi, ini meskipun sama-sama menggunakan kata "Shalawat" tapi yang pertama artinya Ridha, yang kedua Doa dan yang ketiga adalah Penghormatan. Demikian juga kata "Sunnah", jika disandingkan kepada Nabi itu artinya Wahyu Ilahi yang sifatnya maksum. Tapi kalo disandingkan kepada Khulafa Rasyidin itu artinya adalah Ijtihad mereka dalam memahami Nash Al-Qur'an ataupun Sunnah yang sifatnya Ijtihady. Jadi legalitas dan Tazkiyah yang diberikan Nabi kepada Khulafa Rasyidin itu adalah Tazkiyah kepada mereka sebagai "Pemimpin Umat Islam" dan bukan sebagai "Nabi Islam" atau "Utusan Tuhan", karena tiada seorang pun yang mendapatkan Wahyu setelah Nabi."

"Ya tapi tetep aja lah Pak Kamsud, kalo seandainya Maulidan itu adalah perkara yang baik, pasti para Sahabat dan Salafus Shalih telah mendahului kita dalam mengamalkannya."

"Pak Zaglul, saya kurang tahu kaidah yang sampeyan sampaikan itu kaidah apa? Saya belum pernah mendapatkannya di Turats kitab-kitab Qawaid Fiqhiyah maupun di kitab-kitab Ushul Fikih. Selain itu, kaedah tersebut terbangun dari asumsi "Kalo seandainya". Kata "Kalau" ini saja sudah lemah dan sifatnya Wahm, apalagi ditambah dengan "Seandainya" yang itu sifatnya spekulatif, lha koq bisa dijadikan kaedah untuk menyimpulkan sebuah hukum? Padahal dalam Fikih, kita ini beribadah dengan dalil yang sifatnya Dzann atau Qath'iy, bukan dalil "Kalau seandainya, Seandainya saja". Selain itu, coba kita terapkan kaedah tersebut kepada permasalahan yang tidak dilakukan oleh para Sahabat tapi masih kita amalkan sampai sekarang; seperti Khutbah pakai bahasa Indonesia, bayar Zakat Fitrah pakai uang kertas, Mengkhatamkan 30 juz dalam jama'ah Tarawih di Masjidil Haram selama sebulan, Melempar Jumrah Sughra, Wustha dan Aqabah di lantai dua, tiga bahkan empat. Semua perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh para sahabat bukan karena tidak baik, tapi itu semua karena kondisi zaman yang berbeda. Dan perlu dicatat, contoh yang saya katakan tadi semuanya masuk ke dalam relung sebuah ibadah, jadi jangan ngeles kalo itu sekedar Bid'ah dari segi bahasa atau adat-istiadat saja."

"Tapi bagaimanapun juga, Rasul kan tidak butuh Hari Kelahiran beliau diperingati. Justru Rasul lebih suka jika sunnah-sunnah beliau diamalkan?"

"Pak Zaglul.. Pak Zaglul.. sampeyan ini sekarang udah mirip penganut madzhab "Mana yang lebih baik; pemimpin kafir tapi tidak korupsi atau pemimpin muslim tapi korupsi?" sukanya menggunakan logika pembenturan fakta yang sejatinya bisa harmonis dan dapat berjalan berdampingan. Mengadakan Maulid itu sama sekali tidak menghalangi kita untuk tetap bisa menjalankan Sunnah Nabi, sehingga meskipun Maulidan, tapi kita tetep bisa puasa Senin-Kamis, Shalat Tahajjud, Shalat Dhuha, dan Sunnah-sunnah lainnya. Sama halnya dengan memilih seorang pemimpin, fakta di lapangan kita temukan banyak Pemimpin Muslim yang Saleh dan tidak korupsi, lha koq kita dipaksa untuk memilih pemimpin kafir yang koruptor pula, ini kan logika Wagu dan Mekso namanya Pak. Selain itu, jika kita temukan orang Maulidan tapi masih suka lalai dengan Sunnah lainya, maka jangan salahkan Maulidnya, tapi salahkan orangnya. Sama halnya dengan orang yang rajin shalat tapi masih juga korupsi, jangan salahkan shalatnya, tapi salahkan koruptornya!"

"Hmm.. Jadi sebenarnya hakekat Maulid itu gimana sih pak? Koq ada yang mengatakan itu bid'ah, ada pula yang mengatakan itu ibadah, yang bener yang mana ini? Saya jadi bingung."

"Jadi begini Pak Zaglul, substansi dari Maulid itu jika kita observasi di lapangan, sebenarnya ia menghimpun beberapa amalan yang apabila ia berdiri sendiri, maka itu tidak menjadi masalah. Seperti Membaca Al-Qur'an, membacakan syair-syair Madah kepada Nabi, Membaca Shalawat, Ceramah, Taushiyah, Doa dan Kajian Sirah Nabawi, ini semua secara eksistensi sudah ada semenjak zaman Nabi, hanya saja ketika "Racikan" amalan tersebut berkumpul menjadi satu, dalam sebuah tempat tertentu, kemudian diberi Label "Peringatan Maulid Nabi", maka sebagian orang yang kaku akan menyangka ini adalah Bid'ah dan perkara baru, padahal "Merk"-nya saja yang baru, bukan substansinya. Itu artinya, jika njenengan misalkan menggelar acara dengan tajuk "Halaqah Sirah Nabi" lalu di dalamnya terdapat konten yang sama persis dengan Maulidan; mulai dari Tilawah sampai Syair Madah, maka njenengan tidak akan dianggap sebagai Ahli Bid'ah oleh kaum saklek itu, karena njenengan akan dikategorikan sedang mengadakan Majelis Ilmu oleh mereka dan bukan Majelis Kemungkaran. Jadi sebenarnya, konsep Maulidan ini sejatinya seperti sebuah Konferensi, Muktamar, Simposium, Seminar, Haflah, atau apalah terserah. Sama persis kaya yang diadain oleh masyarakat dimana-mana. Lha wong PBB, ASEAN, UNI Eropa, bahkan BEM dan OSIS aja punya rapat tahunan yang digelar secara rutin, masa' kita yang juga dalam setahun sekali cuman mau kumpul bareng-bareng ngadain "Konferensi Kebahagiaan" koq dikait-kaitin sama Bid'ah? Lha kan aneh ini namanya."

"Tapi kan kalo organisasi udah jelas Pak Kamsud, itu urusan duniawi, kalo Maulid kan beda, karena Maulidan itu sama saja dengan menciptakan amalan ibadah baru, dan berinovasi dalam ibadah itu kan dilarang, selain itu Nabi kan sudah menetapkan bahwa Hari Raya umat Islam itu cuma Idul Fitri sama Idul Adha Saja!"

"Yang bilang kalo Maulid itu hari raya umat Islam, siapa Pak Zaglul? Apakah penyelenggara Maulidan itu pernah sepakat mengadakannya dalam tanggal tertentu; 12 Rabi'ul Awal misalkan? Apakah mereka menetapkan rukun-rukun Maulid, Semisal harus ada ritual-ritual tertentu di dalamnya? Coba lihat ibadah dalam Islam, pasti akan selalu ada Niat, Syarat, Rukun yang mengaturnya. Jadi Maulid ini bukanlah Ibadah Mahdhah Pak Zaglul, kalaupun ada yang mengatakan Maulid itu ibadah, maka seperti yang saya bilang tadi, ibadah jika dilihat dari Komposisi yang terdapat di dalamnya; seperti Membaca Al-Qur'an dan Mendengarkannya, atau Taushiyah Agama dan Ceramah Sirah Nabi, itu semua secara substansi sudah ada semenjak zaman Salaf."

"Okelah Pak Kamsud kalo gitu, saya sudah mantap sekarang. Oiya, ini yang terakhir, saya sebenarnya juga mau ngundang njenengan sama ibu ke tempat saya di Kuala Lumpur sekalian buat ngisi acara Maulid kali ini, Insya Allah acaranya dua minggu lagi, masalah tiket PP saya yang tanggung, sekalian temu kangen dan banyak hal yang mau saya Curhatkan ke njenengan. Gimana pak?"

"Waduh pak Zaglul, terimakasih sekali atas undangannya, tapi saya harus minta maaf ke njenengan karena gak bisa dateng, sebab tabrakan dengan acara Maulidan di kampung. Apalagi saya udah dua tahun lebih gak ikut Maulidan. Hehe.."

"Oh.. begitu, ya udah kalo Pak Kamsud gak bisa tahun ini, berarti saya undang njenengan untuk Maulid tahun depan. Jangan menghindar ya, ini saya udah pesen jauh-jauh hari lho.."

"Insya Allah Pak Zaglul, jika usia masih ada. Tapi saya kalo bikin acara Maulid gak sembarangan lho Pak, ada beberapa ketentuan umum yang harus dipatuhi: Pertama, jika acaranya dihadiri lelaki dan perempuan, maka ruangannya harus terpisah. Kedua, jika waktu shalat tiba, maka acara harus dipending dan semua hadirin harus shalat jama'ah terlebih dahulu. Ketiga, jangan sampai Maulidan digelar terlalu larut malam, karena itu waktu istirahat. Keempat jangan sampai di dalam acara Maulid diiringi perkara-perkara munkar seperti minuman keras dan sebagainya. Dan yang terakhir, jangan sampai ada satu pun hadirin yang merokok, saya gak peduli hukum merokok itu Haram atau Makruh, tapi merokok di saat "Kelahiran" Kanjeng Nabi itu merupakan egoisme sekaligus penghinaan yang tidak bisa saya terima. Adapun susunan acaranya bagi saya bebas, yang penting tidak keluar dari koridor Syariat dan tetap menjunjung Spirit Akhlak Rasul. Itu saja cukup."

"Baik Pak Kamsud.. akan saya catat baik-baik, sekaligus akan saya terapkan untuk acara Maulid tahun ini. Begitu dulu ya Pak, Insya Allah nanti kita sambung lagi lain waktu. Semoga Allah dapat mempertemukan kita di kesempatan yang akan datang. Assalamu'alaikum.."


"Amiin.. amiin.. Wa'alaikum salam Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh.."



** Sumber: Cerita ini ditulis oleh ustadz Yusuf Al-Amien




Share this

Related Posts

Previous
Next Post »